Jumat, 31 Juli 2009

Rumah Masa Depan

Dengan muka berbinar-binar, setelah masuk mobil nyokap gue bilang dengan bangganya. “Mama udah punya hadiah ulang tahun untuk Mama sendiri. Tebak apa?”

Dengan agak sedikit tak bergairah gue nyaut, “Berlian?”

“Yeh, itu mah kan nggak jadi.” Sahut nyokap gue kesel.

“Apa dong?”

“Rumah masa depan...” nyokap menyebutkan dengan dramatis.

“Hah? Rumah lagi? Nggak salah? Buat apa?” gue agak histeris mendengarnya.

“Eits, nanti dulu. Rumah masa depan ini kecil kok. Mama juga beliin satu buat kamu, buat Levy satu juga.” kata nyokap gue santai sambil terus menyetir mobil. Wah! Boleh juga nih kalau dibeliin rumah. Warisan apa yah? Kok nyokap gue baik banget bagi-bagiin rumah buat anak-anaknya. Abis menang lotre darimana tuh nyokap sampe ngeborong rumah.

“Daerah mana emang rumahnya?” tanya gue penasaran.

“Di San Diego Hill, bagian bukit Kristen.” Nyokap berkata sambil nyengir.

“Diego Hill? Itu mah kuburan kali!” tiba-tiba ngeh yang dimaksud rumah masa depan nyokap gue.

“Lah emang kuburan, namanya juga rumah masa depan. Eh bagus lho disana itu ya bukit-bukitnya. Terus kita nggak usah bayar apa-apa lagi. Strata title lho Kak! Jadi satu petak satu nama gitu, terus Mama udah beli empat berderet, jadi kan gampang tuh kalau nengok, nengok satu nengok semua. Asik kan.” Nyokap gue berceloteh tentang rumah masa depannya itu. Dan gue pun menerawang ke spion sambil memandangi lampu-lampu jalan.

Mungkin ada baiknya juga menyiapkan segala sesuatunya seperti Ibu saya itu. Dengan berbagai pertimbangan seperti kalau mati tanah kuburan itu mahal, supaya nanti tidak menyusahkan keluarga, tanah kuburan itu susah didapat karena terbatas dan sebagainya. Tapi sesuatu yang membuat saya merenung banyak adalah tentang kematian itu sendiri.

Kemana sih kita setelah mati. Setelah mata menutup dan berubah putih. Setelah napas terakhir berembus dan energi terakhir dalam tubuh kita melonjak keluar seperti setrum yang menjalar dari ujung kaki sampai kepala. Kemana sih kita setelah itu? Apakah kita akan seperti film-film hollywood, roh kita yang berwarna putih melayang-layang keluar dari mulut atau bangkit dari tubuh, sementara tubuh tetap berbaring kaku. Saya tahu setiap agama mempunyai jawaban tentang kematian, kepercayaan saya pun punya cerita menarik tentang perjalanan sesudah mati. Tapi bukan ceramah agama yang ingin saya dengar dan menjawab pertanyaan retoris itu. Tapi apa kematian itu, bagaimana rasanya, apa rasanya hidup selama-lamanya? Apakah kita akan kembali pada keadaan tidak sadar, seperti sebelum kita lahir? (ada yang tahu rasanya sebelum lahir? Gak ada kan?)

Bukan artinya saya jadi penasaran dan terus menerus berpikir tentang mati. Toh hidup disini juga masih banyak yang harus diurusi. Bukan karena saya sudah merasa tua dan bau tanah. Toh saya masih sangat muda, walaupun semua orang selalu bilang yang namanya mati lah kapan saja, pada siapa saja. Dulu waktu kecil saya sering membayangkan bagaimana rasanya mati, apa yang terjadi pada bumi kalau saya mati. Bagaimana pemakaman saya nantinya. Apakah teman-teman sekolah saya akan hadir? Apakah kepala sekolah saya akan memberikan pidato? Siapakah yang akan menangis paling kencang? Pakai baju apakah nanti saya? Apa warna petinya? Apa rasanya ditimbun tanah dalam ruang kayu 1 x 2 meter? Kadang saya berkhayal banyak tentang hal itu.

Atau mungkin marilah kita melihat dekat dengan kenyataan. Saya iri dengan orang macam Ibu saya yang bisa melihat kematian sebagai sebuah lelucon. Ada beberapa tipe orang menghadapi kematian sekarang ini. Ada yang takut terlalu takut dan parno sama yang namanya Bang Maut. Ada yang tidak memikirkan entah karena takut atau karena dirinya begitu tidak peduli sampai-sampai ia kira ia akan hidup selamanya. Ada yang dengan lurus menanggapi sesuai kepercayaan yang dianutnya. Saya ingin sekali bisa seperti Ibu saya, menanggapi kematian sebagai sesuatu yang memang harus datang, bahkan perlu disiapkan. Tidak perlu dipuja-puja, dibakar bersama barang-barang kesayangan atau uang-uang kertas sebagai harta untuk dibawa (katanya), tapi tak juga harus ditakuti sebagai sebuah momok yang begitu mengancam. Toh kita semua akan sampai disana suatu waktu. Kematian itu adalah bagian dari hidup. Dan sebagai seorang pencinta dan pemuja kehidupan, saya mendedikasikan segalanya untuk hidup. Jadi kalau memang mati untuk kehidupan, kenapa tidak saya jalani dengan kesungguhan pula?

Terhempas di jok yang melonjak-lonjak di mobil hitam membelah Jakarta malam.

“Mam, gimana acara jalan-jalan kita Amrik pas Lebaran nanti? Udah cek tiket murahnya?” tanya gue tiba-tiba ingat liburan yang masih menggantung.

“Lah nggak jadilah. Kan duitnya dipake buat beli tanah kuburan. Gimana sih kamu?”

Arggggh! Masa liburan gue gagal buat beli tanah kuburan??!!?? Mending jalan-jalan daripada beli tanah sepetak! Uuuugh! *Dzzziigh*

0 komentar:

Posting Komentar