Selasa, 21 Juli 2009

Aku Ikut Tersenyum Ketika...

Saturday, February 14, 2009


"Selamat hari kasih sayang" kalimat itu seperti mantra diucapkan seharian ini. Entah berapa ratus kuntum aku antar sepagian ini, entah berapa kotak kue dan cokelat berbentuk hati yang kubagikan siang ini. Sambil terus tersenyum dan mengucap riang "selamat hari kasih sayang..." dan sekali-kali ikut menyanyikan lagu-lagu cinta yang berkumandang tak henti-henti hari ini.

Take me to your place
Where our heart belongs together
I will follow you
You're the reason that I breath

I'll come running to you
Fill me with your love forever
Promise you one thing
That I would never let you go
'Cause you are my everything

Aku ikut tersenyum setiap kali kulihat kuntum mawar-mawar yang kemarin masih tidur, kini telah mekar indah. Keindahan yang menandingi indahnya cinta yang dibagikan, tercecer-cecer di sepanjang koridor kelas-kelas, lapangan, bahkan setiap penjuru kota hari ini. Aku tersenyum, setiap kali aku mengantarkan cinta pada teman-temanku, cinta dari orang-orang yang menyayangi mereka dalam bentuk bunga, cokelat atau kue. Aku ikut tersenyum ketika nyanyian lagu-lagu indah dinyanyikan penuh cinta kepada seorang temanku..
Aku ikut tersenyum, walaupun hatiku ku tersedu dalam bisu..

Walau mentari terbit di utara
Hatiku hanya untukmu...
Ada hati yang termanis dan penuh cinta
Tentu saja kan kubalas seisi jiwa
Tiada lagi
Tiada lagi yang ganggu kita
Ini kesungguhan
Sungguh aku sayang kamu


Aku melewatkan banyak hari merah muda sendiri namun hatiku pun tersedu bukan karena tak sekuntum pun datang untukku hari ini. Tapi sunguh rasanya tak terelakkan karena sekali lagi aku sampai pada sebuah pemahaman yang menyakitkan. Dan mereka sahabat-sahabat gaibku, sebagian dari mereka menyenderkan kepalaku di bahu mereka, ikut sedih merasakan luka ini. Namun sebagian lagi, tersenyum sinis mengejek dan melemparkan sorot pandangan 'sudah kubilang kan?...'. Aku pun tidak peduli, dalam dekap mereka aku menangis sejadi-jadinya, mengadu pilu tanpa malu, tanpa perisai-perisai harga diri yang selama ini kujunjung tinggi.

Sore ini, bergegas dari rumah seorang teman yang sedang sakit, aku menenggelamkan jiwaku di kamar yang penuh merah muda. Sudah lama aku tak merasakan sakit yang seperti ini, rasa sakit yang begitu menusuk sampai rasanya setiap aliran darah tubuhku mengandung racun-racun rasa sakit yang menyatu dalam leukosit dan eritrosit darahku. Sakit sampai aku merintih tak lagi bisu, kudekapkan bantal ke wajahku, mencoba memendam segalanya. Tidak berhasil. Sakit. sakit di dalam tubuhku yang tak dapat kujelaskan. Kecuali dengan air mata.

Aku merasa rapuh, runtuh, dan terluka. Terlebih itu, aku marah. Marah pada bodohnya diriku yang membiarkan aku percaya pada mimpi-mimpi. Bertahun-tahun sejak aku mengerti arti kata sakit yang sesungguhnya karena apa yang kulihat dan kudengar, aku telah membangun benteng pertahanan terkuat. Dan lalu tiba-tiba dia datang, menyusup ke dalam sistem pertahanan itu, lalu membuatku belajar percaya bahwa mimpi itu mungkin masih ada...
Dia datang menambal lubang-lubang yang dibuat oleh ayahku, kakekku, dan semua laki-laki yang pernah ada dalam hidupku.

Lalu dalam sebuah semburat malam, saat awan melukis wajahnya dengan sinar bulan keperakan ia menghancurkan segalanya, menoreh luka yang dalam berdarah di rapuhnya aku tanpa benteng pertahanan. Hancur segala bangunan mimpi yang menambal lubang-lubang kosong itu, bahkan ia berhasil melubanginya jauh lebih dalam. Di tengah keruhnya caruk maruk perasaan, pikiran serta seribu tanda tanya sekaligus jawabannya bercampur baur dalam jiwaku. Malam itu aku pergi tanpa tangis, aku berhenti berpikir, berhenti merasa, berhenti bicara.. Yang kubutuhkan adalah pergi sejenak dan berharap terbangun esok pagi dalam dunia yang tak kukenal.

Sore ini, setelah selesai menumpahkan segalanya dalam bisu. Kelelahan dan terbaring pilu menikmati rasa sakit itu merambat perlahan seiring darah yang mengalir dari luka yang masih basah... aku mulai berpikir. Menulis untaian kata yang masih juga belum cukup dan tidak akan pernah cukup menceritakan rasa yang ada. Tumpah... tidak lagi dalam air mata, tapi dalam sebuah getar ketegaran.

Angin membawa kelopak-kelopak mawar yang mati senja ini
Semerbak wangi cinta dalam segala keagungan kasih
Menggantung rendah di udara pagi ini
Menyusup ke dalam kamarku melalui jendelanya yang terbuka
Belaian angin berhembus perih pada luka
Tapi seperti yang dikatakan mereka di luar sana
Berani mencintai, harus berani dilukai
Dan usai tangis ini,aku menentang angin cinta tanpa lagi bimbang
'Aku berani' sahutku pada mereka...

Maaf... aku masih sangat merasa sakit. Kucoba untuk lebih rasional. Menulis untuk mengurai buraian dalam kepalaku yang masih ruwet. Aku memang butuh waktu untuk berpikir dan mengurai secara rasional.. Aku ingin menanyakan seribu tanya, mencari seribu jawab tentang aku, bukan tentang dia. Maka biarkan aku diam dulu disini, menanti sakit ini reda. Dan lalu aku berjanji untuk mengolah segalanya, menemukan jawaban dan merangkainya. Agar kutemukan apa yang kunanti...



0 komentar:

Posting Komentar