Selasa, 21 Juli 2009

Untuk Anak Pinggiran

Wednesday, February 20, 2008


undefined
Yeap, Minggu lalu untuk sekian lama akhirnya gw kunjungan lagi ke Sanggar Akar. Itu lho, Sanggar anak-anak 'pinggiran', termasuk di dalamnya anak jalanan, anak yatim dan anak terlantar lainnya. Minggu itu adalah kunjungan ke sekian kalinya setelah kunjungan beberapa bulan yang lalu (sudah agak lama juga sih, tadinya mau adi guru bahasa inggris disitu, tapi.. yaah, belum jadi). Sanggar Akar, terletak di tepi Kali Malang daerah Cipinang. Rumah atau tepatnya bangunan kayu dan semen itu masih dengan kesederhanaannya dan lukisan nyata yang menggambarkan dengan jelas 'kita sangat beruntung'. Berkaca ke kehidupan mereka dan lihat betapa banyak yang kita miliki.

Minggu itu, Sanggar hampir sepi. Hanya ada beberapa anak-anak gadis yang sudah lebih besar. Mereka teman-temanku. Beberapa kali aku pergi bersama mereka. Beberapa kali aku hanya sedikit berbagi kebahagiaan dan pergi jalan-jalan ke Bandung untuk liburan singkat. Anak-anak kecil dan balitanya sedang pergi. Mereka ada acara performance di Senayan dalam rangka 'hari sahabat'. Oh iya.. di sanggar ini mereka diajarkan musik dan berbagai keterampilan lainnya. Hasil karya mereka atau hasil main musik mereka (punya orkes kecil disebut 'musik kaleng rombeng') digunakan untuk mengelola sanggar dan sekolah -- beberapa dari mereka disekolahkan sanggar --

Disana kami ngobrol-ngobrol, makan bersama (kebetulan rombonganku membawa sedikit makan siang dan camilan), dan tentunya main bersama, dari main wak-wak-gung dan Un-Dos-Tress. Beberapa anak kecil yang tidak ikut main ke Senayan, akhirnya bersama kami seharian itu.

Satu yang paling kulupakan, tentu saja, Debi. Bocah lelaki berumur 8 tahunan ini memang pernah kujumpai beberapa kali pada kunjungan-kunjungan sebelumnya. Namun tetap saja, pasti ada kejadian yan berkesan setiap bertemu dengannya.
Yang kutau, orang tua Debi entah dimana. Dari kecil ia hidup di jalanan, namun sekarang disekolahkan oleh sanggar. Bocah kelas 2 SD ini memang tingkahnya aneh-aneh. Anak jalanan banget. Bawa-bawa pisau tajam kemana-kemana (bayangkan umur 8 tahun, adikku saja sepertinya belum pernah memegang pisau, padahal umurnya 7 th), mungkin saja pribadinya yang ditempa bersama debu dan kerasanya aspal menjadikan anak itu begitu. Agak brutal, namun manis dan patut disayangi dan diberi perhatian.

Kunjungan beberapa bulan yang lalu (kunjungan resmi pertama) jauuuuuuh lebih berkesan. Bukan karena memang acaranya sudah di prepare dengan baik, namun juga untuk pertama kalinya aku menemukan kehidupan lain yang duduk disampingku, makan bersama dan mengajariku memetik gitar khas pengamen jalanan. Waaah, sungguh pengalaman yang tidak terlupakan disana ketika itu.

Kunjungan itu, selain untuk pertama kalinya aku bertemu Debi. Aku juga bertemu dengan seorang gadis lagi. Umurnya baru sekitar 7-8 tahun. Manis sekali ketika aku bertemunya dulu. Anaknya terbuka dan haus kasih sayang. Seorang guru menggendongnya dan ia tersenyum gembira. Sambil berbisik ia berkata 'aku seperti punya ayah'. Oh, sungguh mengiris hati perkataanya. Ketika aku dan rombongan pamit. Sekali lagi ia mendekapku lama dan berkata hampir menangis, 'Kak, kembali lagi... makasih ya kak, rasanya seperti punya keluarga...'. Aku ingat, tak tahan aku untuk bicara apapun, hanya kudekap saja tubuh mungil, yang mungkin orang bilang dekil dan bau.

Beberapa bulan kemudian, aku kembali membawakan boneka kelinci untuknya dan kalung (aku ingat betapa sulit aku memilih boneka itu). Dan tak lupa aku juga membawa tas sekolah baru untuk Debi. Adik-adikku yang manis.

Setelah beberapa waktu, aku menanyakan kabar anak itu, kepada temanku yang tinggal di sanggar. Dia bilang, si gadis ini sudah diambil paksa oleh ibunya. Ibunya yang mempekerjakan dia untuk mengamen sampai target penghasilan tertentu. Dia dilarang sekolah. Dan kisah naas yang kudengar adalah... ia pernah menjadi korban perkosaan, lagi-lagi karena campur tangan orangtuanya. Bayangkan, gadis 7 tahun..

Kehidupan jalanan memang keras. Sekaligus membuatku bersyukur tak henti akan hidup yang kumiliki. Banyak lagi kisah yang kudengar dari teman-temanku di sana. Semua itu bagaikan cermin yang memaksaku untuk memeriksa diri egan kehidupan mereka. Sudahkah aku menggunakan hidupku yang beruntung ini dengan bijaksana? Apa yang dapat kuperbuat untuk menolong sahabat dan adik-adikku itu?

Mereka menyebut diri 'anak pinggiran', anak-anak yang tidak dapat mendapatkan hak mereka sebagai manusia muda yang punya akal, kreatifitas dan butuh kasih sayang. Di sanggar itu mungkin mereka boleh hidup cukup layak (makan 3X sehari tentunya dengan lauk seadanya, beberapa sekolah dan punya baju bersih), namun berapakah yang masih menggeliat bangun di beralaskan aspal? Dinina-bobokan suara raungan mobil-mobil yang melintas dan berselimutkan koran sebagai penahan dingin?

Aku berusaha sadar dari waktu ke waktu. Bahwa merekalah bagian dari rakyat ini kelak. Ketika waktu generasi kami memimpin nanti. Bukan tidak mungkin, merekalah yang akan duduk di kursi-kursi parlemen di sampingku kelak. Ayo bangun sahabatku. Jalanan boleh saya tidak berhati padamu. Namun aku dan teman-temanku dari atas sini akan membantu kalian bangkit, merangkat keluar dari liang kemiskinan, dan kita akan membangun negri ini bersama-sama. Kita pastikan tidak ada anak-anak lagi yang harus merasakan dinginya malam tanpa selimut dan kerasnya aspal dan kehidupan jalanan yang menggerogoti mereka. Bukan hanya tubuh, namun jiwa mereka. Kita pastikan, anak-anak di negri ini pulas dengan kenyang dan hangat. Dan menghabiskan masa kecil mereka hanya dengan belajar dan bermain. Iya kan sahabat? Kita akan memperjuangkan itu? Ayo...

Seperti dalam posting sebelumnya. Masih banyak tugas bagi generasi kami, masih banyak yang perlu dibenahi.



0 komentar:

Posting Komentar