Senin, 10 Agustus 2009

Curahan Hati Seorang Penampung Hati

Curhat. Sepertinya curhat menjadi salah satu penghubung antar manusia dan teman sekarang. Dicurhatin kanan kiri. Tentang mama dan pacarnya, tentang teman kampus dan teman-temannya, tentang teman dan mantannya, tentang kuliah, tentang anak dan kerjaan. Wah sepertinya begitu banyak yang tumpah atau mungkin terlalu banyak yang harus ditampung.

Bukan artinya aku tidak mau dicurhatin. Dicurhatin dan lalu memberi pendapat bahkan kadang saran adalah hal yang paling kusuka. Aku merasa berarti, paling tidak telingaku berarti untuk orang lain. Dan terkadang ucapanku bisa menenangkan orang lain.

Aku tahu betapa pentingnya dimengerti saat kita ingin ada sedikit perhatian dan pengertian yang kita butuhkan. Aku tahu betapa berartinya sekedar kata “oh iya” atau “wow gila banget” atau “Iya sih...” walau itu hanya dalam bentuk paling sederhana yaitu pesan singkat di layar komputer. Aku tahu betapa pentingnya bagi seseorang yang sedang jatuh, hancur, sedih untuk paling tidak merasa didengarkan oleh orang yang diajaknya bicara. Walaupun kita sebenarnya tidak pernah tahu apakah orang itu benar-benar mendengarkannya atau tidak. Tapi aku tahu dan aku peduli agar orang-orang disekelilingku merasakan itu, maka aku bersedia meluangkan sedikit waktu, walau kadang banyak juga, untuk sekedar membaca dan memberi respon pada curahan hati yang tak bisa dibendung lagi.

Kadang aku cukup baik memberikan saran. Kadang malah beberapa masalah membaik karena ucapanku. Dan saat-saat seperti adalah salah satu saat yang paling kusuka, karena aku merasa aku pemenang. Aku memenangkan masalah demi diriku sendiri, bukan untuk orang lain.

Tapi kadang, disaat semua orang bertumpu, minta didengar, minta dimengerti, menumpahkan air mata dan cercaan padaku. Adakah aku berhak untuk juga bercerita kadang-kadang?

Apakah mereka juga ingin dengar tentang betapa aku sedang sedih karena teman-temanku lupa aku. Atau betapa aku senang karena dia yang lucu di sekolah menjadi temanku sekarang. Tentang seorang lelaki yang sedang mencuri hatiku, tapi aku tak akan boleh membiarkan dia mengambil curiannya itu. Atau betapa aku frustasi pada bahasa inggrisku yang tidak kunjung membaik untuk ulangan-ulangan ke depan. Atau tentang keluargaku yang sekarang baik-baik saja. Atau tentang cita-citaku, obsesiku, impianku. Adakah mereka bertanya, ‘Lalu bagaimana dengan hidupmu, Jingga?’. Aku tidak bermaksud untuk pamrih. Tapi biasanya aku memulai percakapan dengan banyak orang dengan kata ‘How’s life’ atau ‘Hey, you want to share or just keep it?’. Aku peduli dan menginginkan setidaknya peduli untuk bertanya.

Mungkin inilah salah satu dari dinamika kehidupan, rotasi sosial dan interaksi didalamnya. Banyak orang merasa ingin didengarkan karena merasa tidak didengarkan, sebaliknya sudahkah mereka mendengarkan orang lain? Seorang teman di kampus mengadu pilu padaku katanya gebetan dan sahabatnya tidak pernah mau mendengarkan dia, mereka hanya cerita tentang diri mereka sendiri. Maka kutawarkan telingaku, kudengarkan dia. Dan dari pengamatanku, bagaimana kamu bisa minta didengarkan kalo setiap kali aku membuka mulut dan berkomentar atau menceritakan sedikit saja ceritaku, maka ia melakukan hal lain. Bagaimana kamu mau didengarkan kalau diajak bicara kamu melihat ke arah handphonemu, dan lalu mengangkat wajah melanjutkan kisah tentangmu, lukamu, kekesalanmu, kesedihanmu, seolah hanya kamu yang punya masalah di muka bumi ini.

Mungkin pula aku telah menjadi salah satu dari mereka dengan minta didengarkan. Tapi aku berusaha untuk juga mendengarkan orang lain. Seperti yang aku bilang, aku tahu betapa berartinya merasa didengarkan. Dan aku berpikir betapa indahnya jika semua orang mengerti hal ini. Bukankah setiap orang akan merasa jadi orang paling beruntung sedunia karena didengarkan dan juga berarti bagi orang lain, karena didengarkan.

Smooch,
Jingga. 10 agustus 2009. 0.03

0 komentar:

Posting Komentar