Selasa, 21 Juli 2009

Album Biru


Sunday, September 28, 2008


Kubuka album biru.. penuh debu dan usang...

Gw gak punya album biru yang bisa menceritakan memori-memori dengan sang Bunda. Bahkan gw bukan salah satu dari anak-anak yang dianuhgerahkan untuk memiliki keindahan ingatan bersama ibu yang sebenarnya seperti didongengi, dibuatkan bekal, digandeng ke sekolah.

Nyokap gw adalah seorang wanita single fighter yang sibuk dan membuat segalanya dalam hidup gw bahkan ketika gw kecil menjadi sistematis dan disiplin. Bukan berarti gw terlantar, dia tetap ada dengan baik buat gw. Lebih sebagai teman dan pembimbing hidup, bukan seperti ibu yang ada di imajinasi gw.

Nyokap gw, dengan segala keterbatasannya, berusaha memberikan semua yang terbaik untuk gw dan adik gw. Walau dengan begitu ia melewatkan banyak waktu untuk tidak bersama gw. Walau begitu banyak teman-teman gw yang ngantri untuk tukeran nyokap, nyokap yang bisa gokil-gokil bareng, funky, ngajakin anaknya dugem dan nyoba alcohol (under supervise ) dan bisa nyari barang-barang seru. Sedangkan seperti semua manusia lainnya, gak pernah puas. Gw rindu punya nyokap yang lebih ibu. Yang menempatkan gw sebagai anaknya bukan sebagai teman.

***
Entah apa yang mendorong gw menceritakan segalanya, bahkan rahasia yang paling gelap dari hidup gw. Sejak umur 8 tahun, rasanya hampir tak pernah gw menunjukan emosi yang sedemikian dalam di depan orang lain, terutama di depan orang yang boleh dikatakan tidak kenal dengan gw.

Hari itu hari terakhir pelajaran sebelum liburan gratis, libur lebaran. Gak ada lagi anak-anak yang niat belajar, guru-guru pun mengalah dengan memberikan jam gratis buat anak-anak menyiapkan lomba besoknya atau sekedar ngobrol-ngobrol pelan. Akhirnya gw menumpahkan semua yang memberatkan hati gw akhir-akhir ini. Dan semua tumpah gitu aja, diterima dengan baik dan lapang dada oleh seorang wanita yang memposisikan dirinya sebagai ibu. Seperti ibu yang selama ini dalam bayangan gw.
Ibu yang memegang tangan gw untuk menenangkan gw, bukan teman yang ngelucu dengan maksud menghibur. Ibu yang memberi gw nasihat bukan teman yang sekedar memberi saran.

Dan takdir jugalah yang menempatkan gw di gereja siang itu, dan tangan takdir yang membawa gw untuk menarik lengannya menjauh dari keramaian dan berlutut di salah satu sisi yang kosong. Takdir. Ya itu dia, yang kadang memilihkan.

Pagi itu gw merasakan sensasi yang rasanya sudah lama sekali gak gw rasakan. Ketika tangannya ditumpangkan di kepala gw, tiba-tiba ada perasaan hangat yang meleleh dari atas kepala. Mendadak gw luluh. Lapisan-lapisan benteng yang selama 8 tahun ini bangun hati-hati meleleh begitu aja di hadapan altar, oleh kehangatan seorang ibu. Gw gak menangis untuk masalah gw saat itu, gw menangis ketika menyadari begitu lama gw rindu sentuhan ini. Sedikit bukti bahwa dari sekian banyak orang yang menolak gw, masih ada tangan yang mau menghangatkan hati gw, walau hanya sebentar.
Akhirnya setelah sekian lama, gw merasakan sentuhan seorang ibu yang menempatkan dirinya sebagai ibu, bukan sekedar sebagai teman.

Walau dia bukan ibu yang sebenarnya, walau seharusnya gw bersyukur atas ibu yang dianugerahkan Tuhan ke gw. Walau dan walau lainnya. Gw percaya takdir yang memilihkan gw untuk ada di gereja pagi itu. Walau itu hanya berlangsung sebentar, betapa gw merasa sangat bahagia dan lega akan rindu itu. Rindu dipeluk dan dicium sebagai seorang anak...

0 komentar:

Posting Komentar