Selasa, 21 Juli 2009

Bab 2 : Filosofi Pasir


Friday, January 23, 2009



Blogger Warning : Blog ini mungkin mengandung unsur-unsur feminisme yang sangat pekat, yang mungkin tidak dapat ditolerir beberapa manusia non-feminim. Mungkin juga dapat menyebabkan menangis, tertawa, muntah, keinginan untuk mencerca, keinginan untuk mencinta dan komplikasi lainnya. Post ini mungkin tidak baik dikonsumsi oleh orang yang mengidap penyakit dunia no.5 yaitu sarkatisme dan apatisme terhadap cinta.









***

Cinta itu seperti pasir dalam genggaman tanganmu, semakin keras kau mengenggamnya untuk mempertahankannya, semakin banyak juga cinta yang keluar melalui sela-sela jemarimu, akhirnya hilang ditiup angin yang berhembus ketika kamu membuka tanganmu dan sadar segalanya telah terlambat. Namun biarkan pasir itu di jemarimu, maka ia akan tetap disana sampai angin nasib yang akan meniupnya. Begitu pula cinta, genggam ia dengan segala daya kekuatanmu maka ia akan pergi. Namun biarkan cinta itu dengan menghargai kebebasannya, maka ia akan tetap disana...

<3 <3 <3

Pernah dengan filosofi tentang pasir? Yeaph, mungkin gw adalah pengikut Paham Pasirisme yang cukup konservatif. Gw percaya bahwa tiap manusia dilahirkan dengan kebebasan penuh, sepenuhnya tanpa dibatasi oleh manusia lainnya. Tapi hidup ini penuh dialetika kan? dan gw pun berubah dinamis mengikuti bentuk-bentuk yang juga belum berbentuk. Karena memang seperti itulah kabut hidup, tak berwujud dan terus berubah. Apalagi ketika seseorang datang menyibak kabut itu dan membuat setiap wujud didalamnya bergerak-gerak mencari bentuk lain dari pribadinya....

OK.. mari kita lihat kronologisnya, menganalisa setiap detail kasus yang dapat membuat gw mengerti 'oooh ini toh salahnya, ooooh ini toh yang gak boleh..'
Malam itu seperti setiap malam, kita telponan (mengingat suaranya sangat adiktif dan akhir-akhir ini tidur itu sulit tanpa lullaby napasnya...). Pembicaraan berawal dari sekedar omongan rencana beberapa hari ke depan, dari pembicaraan rencana jadwal harian itu, gw jadi sadar dia harus pergi PKL sebentar lagi.

"wah bentar lagi aku PKL..."
"oooh, kamu PKL berapa lama sih?"
"6 bulan"
"jadinya kemana? udah tau belom?"
"yaaa maunya sih ke malaysia... eh! tapi apa ke Jakarta aja yaa biar bisa nemenin kamu?"
"yaaa jangan laaah.. malaysia aja" **di Malaysia dia bisa dapat lebih banyak kesempatan yang lebih baik daripada disini**
"ato gak tetep di bandung aja kali ya... biar gak jauh-jauh amat"
....

Gw gak bermaksud mengkambing-hitamkan ngantuk, tapi serius kali itu otak gw benar-benar low battery dan filternya pun mati. Dengan santai dan tanpa alasan yang jelas, bahkan gw hampir gak tau tujuan pertanyaan gw ini, gw melanjutkan pembicaraan diatas dengan bertanya...
"Nanti pas kamu PKL, apa kamu mau kita break dulu?"
**berubahan nada yang drastis dari suaranya** "Yeee.. ngapain break, udahan aja gak usah balik-balik kalo gitu maaah"
"Jadi kamu maunya putus?"
..diam...
"Kamu mau kita putus???" Dia mengulang pertanyaan gw..
"LHO! Gak gitu kali maksud aku...aku cuman gak mau jadi pagar kamu aja. Kamu 6 bulan disana, kamu akan ketemu banyak orang disana. Aku gak mau ngebatasin kamu disana... Alasan yang sama seperti ketika kamu ngelepasin Nad (mantannya yang udah pergi ke luar negri), aku cuma mau adil, aku mau ngelakuin apa yang kamu lakuin ke Nad, gak maksain dia dan mengikat dia disini.."
..diam...
"Udah deh, aku ngantuk. Aku mau tidur!" Dan dia pun menutup telpon.

Gw baru sadar dia benar-benar marah ketika besok paginya. Gw inget-inget lagi nada suaranya dan gw sadar dia marah banget. Pagi itu gw sms, minta maaf.. dan gw sms lagi siangnya untuk ngingetin dia makan seperti biasa, tapi dia juga gak bales... Gw sempet ngobrol-ngobrol dengan sahabat-sahabat gw dan menurut mereka gw salah. OK.. gw tau gw salah dan menyesal.. tapi serius hari itu nyiksa banget. Gw gak berhenti melahap soal-soal fisika dan matematika hari itu, karena kalo konsentrasi gw lepas, gw pasti keinget dia dan itu rasanya sakit banget.

Setelah dianjurkan banyak sahabat dan abang-abang gw, gw telpon dia. Berusaha memakan ego gw yang biasanya segede bagong dan mengalah. Gw cuma berusaha mengingat perkataan sahabat gw 'Lo jangan sampe ikutan emosi juga Vy, ayooo ayo tetep dibawah, kalo lo ikutan naek abis cerita deh...'. Dan sore itu pun gw menelpon dia, setelah menelan semua harga diri seorang Ivy. Walaupun masih agak bimbang, apakah lebih baik gw kasih waktu dia untuk nenangin diri, atau selesaikan masalahnya...

"Halo...kamu masih butuh waktu ato kita mau omongin sekarang?"
"Omongin apa lagi sih??? udah gak ada lagi kan yang bisa diomongin!"
"Jadi kamu maunya apa?"
"Gak tau."
"Kamu marah sama aku?"
"Gak"
"Kamu kecewa sama aku?"
"Iya."
"ok.. kecewanya kenapa?"
"aku kecewa sama statement kamu kemaren."
"Okay... aku salah.. tapi kan aku udah minta maaf... dan aku udah jelasin kenapa aku ngomong gitu.."
.........diam........ serius gw bener-bener pengen marah, nangis, teriak, emosi gw stuck di jantung..
"jadi kamu gak mau maafin aku?"
"APA sih yang perlu dimaafin???"
Dan selama beberapa waktu pembicaraan itu berulang terus sampai ada titik dimana gw bener-bener gak tahan, suara gw udah tinggi, tapi kemudian gw sadar, gw melempar headset dan mendekap bantal di mulut dan teriak-teriak sekenceng-kencengnya. Setelah itu gw melanjutkan pembicaraan dengan menurunkan nada suara serendah yang gw bisa.

"Buat APA pacaran kalau akhirnya putus? mending udahan aja sekarang, daripada nanti lagi udah keburu dalem udah susah pisah!"
"Jadi kamu mau putus?"
"YAAAA gak! tapi kalo kamu yang mau?!"
"Aku gak bilang aku mau putus!" Teriak gw frustasi...
"yaaa itu kamu bilang mau break atau putus aja pas aku PKL! Mana komitmennya? Kita pacaran atas dasar apa sih??? Kita udah deal kan, untuk komitmen! Sekarang mana??? kalo cuma gara-gara PKL kamu bilang putus atau break!"
"Aku gak bilang mau putus atau mau break.. Justru aku nanya kamu, kamu maunya gimana? kan kamu yang mau pergi... "
"Ya enggak lah.. udah deh gak usah dibahas.. males tau gak!!"
Sakit sih denger itu, tapi serius... kadang gw kagum sama otak gw sendiri. Sahabat gw, Rasionalitas langsung mengambil alih kendali diri gw untuk tetap ada di jalur. Ibarat itu pesawat mau jatuh, programnya langsung kesetel : AutoPilot...

Gw benar-benar merasa bingung. Gw jadi kehilangan pegangan mana yang seharusnya dan mana yang tidak. Dengan setulus-tulusnya gw benar-benar bermaksud untuk gak jadi pagar dia. Sebagai penganut paham filosofi pasir, gw hanya mau menghargai kebebasan dia untuk bertumbuh lebih subur dan mendapatkan kesempatan seluas-luasnya tanpa dibatasi tembok apapun, apalagi tembok cinta dan pacaran. Secara teknisnya, gw gak mau dia mengorbankan PKLnya yang berharga demi gw dan dia gak serius untuk ngambil yang di Malaysia itu, walaupun dia tau, di antara tempat PKL lain, Malaysia tempat dia paling bisa dapet banyak kesempatan belajar.

Setelah dia agak sedikit lebih tenang dan emosinya udah turun. Gw ajak dia ngomong lagi...

"Aku cuma berusaha pake filosofi pasir kok, aku gak maksud ngelepasin kamu. Gak maksud gak punya komitmen sama kamu.."
"Kamu tuh salah sekarang ya dengan komitmen ini yang aku pegang, pasti akan ada batas-batasnya dong.. gak boleh terlalu perhatian sama orang lain, gak bisa terlalu deket..."
"NAH ITU dia yang aku gak mau.. aku gak mau ngebatasin kamu. Apa gak lebih enak buat kamu, kalo kamu kesana tanpa pengikat apapun. Kamu bisa membuka diri dengan siapapun. Mungkin kalo nanti kamu dapat yang lebih baik dari aku.. kamu gak dibatasi dengan apapun untuk itu..."
"Kamu SALAH! Itu dia yang kamu salah ngerti, kamu sih pake filosofi pasir... tapi itu justru kenapa aku mau punya komitmen. Aku mau dibatesin, aku mau punya batas. Kalau aku gak punya batas, dan terus mencari yang lebih baik, sampai kapan aku mau berenti? Gak akan ada batas buat yang lebih baik... Justru karena itu aku komit sama kamu, aku mau aku dibatasi dan gak terus lagi nyari yang terbaik..."

Gw gak tau, gw harus melayang bahagia atau malah sedih mendengar hal itu. Mungkin gw seharusnya bersyukur atas dia. Menurut abang-abang gw, cowo wujud gini tuh jarang dan dicari lho! Oooh... gw jadi bingung antara kebebasan dan komitmen. Dimana sumbu pembatasnya? Semakin kabur dan semu batas antara dua hal itu. Gw berusaha memberikan kebebasan, katanya gw gak punya komitmen... Gw cuman takut, ketika gw secara gak gw sadari akan mengikat orang lain dan lalu hal yang paling gw takuti terulang kembali : berhenti DIcintai... (selebihnya tentang ini akan dilanjutkan di post berikutnya..kepanjangan.. mumet bacanya :D)

Kemarin malam, gw curcol-curcol dalam sama abang dan temen-temen gw di undakan depan kantor. Abang gw bilang, mungkin si Tuan Merah ini begitu karena alasan-alasan tertentu dari latar belakangnya dia. Dari latar belakang keluarga dan urusan cinta masa lalunya dia. Yang entah mengapa, semuanya ditumpahkan di gw.. Gw sama sekali gak keberatan sih, bahagia dan bersyukur malah kalau dia serius (gw harap dia bener-bener serius dan komit seperti yang dia bilang) walaupun apapun juga deh ketakutan gw..

Jadi intinya adalah kali ini gw belajar banyak hal. Dari hal teknis sampai filosofis..
Secara teknis, gw belajar menelan ego dan keangkuhan untuk kebersamaan. Dan ini hal yang sulit. Gw tau dalam hubungan ini, banyak hal yang sebenarnya gw melawan grafitasi diri gw sendiri. Bukannya gw mau berubah dan akhirnya berhenti jadi diri gw sendiri ketika gw sama dia, tapi gw mau belajar jadi pribadi yang lebih baik. Bukan baik buat dia, tapi baik buat diri gw sendiri... Gw belajar ngecilin ego, belajar lebih perhatian, belajar toleran, belajar sabar, belajar menghadapi orang yang lagi emosi sedangkan gw-nya gak boleh sampe kepancing, belajar percaya sama orang, belajar belajar dan belajar... belajar memegang komitmen tentunya.

Intinya adalah gw harus bilang sama Tuhan, gw bersyukur.. bersyukur banget. Seperti yang setiap malem gw bilang sebelum gw tidur.. "Tuhan, makasih ya buat dia...makasih buat hadiahnya, hadiahnya indaaaaah banget.. gak kebagusan apa buat aku, Tuhan?? Ajar aku yaa supaya bisa mencintai dengan tulus dan lebih lagi..."
Bersyukur untuk dia, dia datang menyibak kabut hidup yang selama ini pekat menutupi pandanganku terhadap sang adam. Yang dengan suaranya membawakan pribadi lain yang belum pernah kukenal sebelumnya. Dan aku bersyukur karena dapat belajar mencintai dia...

1 komentar:

sesuatu mengatakan...

mantep mba
:)

Posting Komentar