
“Have you check your GPA?” sebuah pesang singkat masuk dari kawan sekelasku.
Hah? GPA keluar hari ini? Kupikir masih minggu depan, tiba-tiba aku dilanda kepanikan.
“Nope, have you?” balasku cepat, aku sedang di angkutan umum, memegang computer genggam seharga satu motor bukan hal yang baik untuk dipamer.
“Okey, check then. Call Ms. Lita, she’ll help you” Teman sekelasku yang baik itu memberikan nomor telepon untuk menanyakan daftar nilai akhir itu.
Tiba-tiba aku dag-dig-dug. Aku tidak belajar cukup baik beberapa minggu kemarin. Aku yang sombong dan bebal mengandalkan hampir 80% kemampuan otakku menyerap pelajaran di hari-hari sebelumnya sengan perhatian yang terbagi antara chatting di handphone, gambar-gambar dan bengong. 19%nya belajar saat subuh, tepat beberapa jam sebelum jam ujian. Bahkan waktu hari ulangan ekonomi, aku sengaja mulai belajar jam 11 dan tidak tidur sampai besok paginya. Dan 1% pada selarik doa yang kudaraskan tepat sebelum membalik soal ujian. 1%... ya... hanya itu.
Dulu waktu kecil aku sangat religius. Aku menggantungkan hampir 51% usahaku kepada doa dan tuhan. Dulu aku berdoa setiap malam, aku tirakat sebelum ujian, aku khusuk berdoa panjang lebar sebelum masuk ruang ujian. Sekarang... aku bergumam singkat sebelum membuka kertas, “Tuhan, aku masih percaya Engkau di sampingku sekarang. Bantu aku.” Hanya itu.
Semakin besar, logikaku semakin kuat mengkritisi berbagai dogma yang diajarkan. Bahkan berani-beraninya aku menggunggat iman dan keberadaan tuhan. Bukan, bukan artinya aku tidak lagi percaya tuhan. Aku belum jadi atheis, tapi aku bercermin dan melihat bibit atheis di pantulannya. “Tuhan, selamatkan aku” kadang aku berbisik.
Banyak hal mengapa iman dan kepercayaan bisa terkikis seiring menguatnya logika. Dan pastinya membutuhkan lebih dari sepotong fragmen tulisan sore hari untuk menyingkap itu. Aku sering dengar, seseorang di altar itu bilang menggebu-gebu “Iman!!! Ya, umat sekalian.. IMAN! Hanya iman yang kita perlukan. Percayalah bahwa... percayalah kalau... imang yang murni.. Plain faith.” Lalu ketika serentak semua orang menggumamkan ‘Amin’, aku bergumam dalam hati ‘Iman yang cerdas mungkin lebih masuk akal.’
Tapi semakin logikaku menyangkal tuhan. Semakin ajaib juga nyalanya menguatkan. Kadang kejadian kecil, kejadian bodoh dan kejadian sederhana yang menyelamatkan kepercayaanku dari hari ke hari. Seperti barusan ini, terjadi tepat padaku dan membuat cemberut di wajahku jadi senyum.
Masih di angkutan umum yang membawaku pulang ke rumah secara kilat, aku berdoa dalam hati. “Tuhan, aku tahu aku belajar tidak cukup baik. Tapi aku mau 8.5, Please, aku mau segitu. Pokoknya ada 8nya.” Dan mengakiri doaku tepat sebelum kakiku meloncat dari angkutan yang tega terus melaju.
Apakah kamu masih percaya doa yang kita daraskan berulang-ulang atau yang singkat, itu ada yang dengar? Atau jangan-jangan hanya mengawang saja di belakang kepalamu. Kamu masih percaya bahwa semesta ini ada yang mengatur? Atau hanya hasil dari reaksii-reaksi berantai yang menyebabkan keteraturan global, sinergi-senergi rumit yang bisa diurai. Kamu masih percaya bahwa ada sebuah istana di balik awan? Atau hanya sekedar lapisan-lapisan atmosfer yang dapat ditembus, bahkan sebelum kau benar-benar mati. Kamu masih percaya bahwa Dia ada? Atau jangan-jangan hanya ciptaanmu saja.
Aku bukan sekali mempertanyakan itu. Tapi juga bukan sekali jawabannya dibawa ke pangkuanku. Membuatku mau tak mau tersenyum malu.
Dan sore ini juga begitu. “Tuhan, pokoknya harus ada 8!” darasku dalam hati ketika menunggu administrasi kampusku mencari nilaiku di daftar nilai.
“Ivy.. is it? Hm.. anthoni, billy, Elvina, Geralda.. Oh there is it. Ivy.. Your english is B, Computer studies is B+, Legal-Eco and accounting is B, Math is C minus. Im Sorry. You have.... 7.8” katanya membuatku tanganku makin gemetar.
“Oh Okey. Thank you” Aku menutup telepon. Aku kecewa. Hanya 7? Tujuh? Aku sungguh mengharapkan lebih dari angka depan tujuh. Lalu sebuah suara mengingatkanku “Tuhan, pokoknya harus ada 8!”, aku pun tersenyum. Tentu saja ada 8. Tujuh koma delapan. Kau belum tuli rupanya Tuhan, kau masih disana, mendengarkan tiap detail doa yang kudaraskan, bahkan yang tersingkat sekalipun.
Seketika kecewaku diganti senyum. Aku tertawa kecil menertawai kebodohanku sendiri. Sekaligus menyadari, sebuah peringatan sampai di telingaku hari ini. Dia ada lho, dia masih ada dan masih belum tuli. Tidak akan pernah.
Bisa apalagi aku? Selain sedikit tersenyum dan membuka dokumen baru, mulai mengetik dengan judul “Kau Selalu Dengar Ya Ternyata?”.
PS. Hope you find your Shine today. :)
0 komentar:
Posting Komentar