“Ayolaaah, biarkan aku menyelsaikan masa remajaku yang tinggal sebentar lagi ini dengan normal...” kataku frustasi kepadanya di sebuah pagi yang panjang. Dua ronde perbincangan tentang hal-hal besar yang menghabiskan dua cangkir kopi dan beberapa batang rokok. Mengantar pagi dari mengulet, sekarang sudah benar-benar bangun.
“Itu sebabnya hanya kamu yang masih bisa ku-optimiskan” Katanya sambil tertawa ringan dan menghebuskan kepulan asap putih rokok ramping perempuan.
“Oh godamn, I dont wanna this anymore. Semua itu hanya siklus, semua itu sudah mati sayang. Enggak ada yang namanya kesuksesan karena idealisme. Yang ada hanya siklus kesuksesan dari mereka-mereka yang beruntung. Lihat kemerdekaan, sumpah pemuda, apalah...” Ujar lidahku menyesal, kalimatku ini akan membawa kami ke diskusi yang semakin panjang dan melelahkan.
“Ayolah... dibutuhkan orang-orang macam kamu untuk bisa mengubah dunia.” Katanya lembut.
Hahahaha.. tawaku hambar. What a cliche.
“Apa rasanya jadi impoten?” tanyaku
“Ha? Impoten? Aku belum impoten kali” sahutnya.
“Apa rasanya tahu banyak hal yang salah, tahu bagaimana cara membetulkannya, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Terkekang oleh perut dan realitas.Kupikir, banyak orang-orang yang seperti itu, apa lagi di generasimu.” Menerawang aku memperhatikan asap-asap di atas kepala yang membaur dengan udara.
“Aku hanya ingin jadi anak normal biasa sekarang. Aku sudah menghabiskan hampir semua umur remajaku dengan pikiran-pikiran, mimpi-mimpi dan kegiatan yang rumit. Mungkin aku akan memilih jadi orang-orang impoten pada akhirnya. Dan sedikit egois, sok-sok jadi aktivis salon nambahin daftar pengalaman di CV, kuliah yang bener, lulus cum laude, mendaftar pekerjaan bagus dengan CV sempurna, kerja yang rajin, punya uang yang banyak, ambil master di tempat bergengsi, beli rumah dan investasi tanah di Bali, menikmati mall-mall ibukota, nyekolahin anak di sekolah bagus. Udah lah cukup. Itu aja. Toh urusan kebumian bisa dikerjakan orang lain.” Ceritaku sambil bercanda.
“Sepertinya kamu siap masuk jadi orang-orang impoten itu” sahutnya.
“Mungkin... mungkin akhirnya kita semua berakhir seperti itu. Atas nama idealisme? Itu Cuma gairah masa muda aja. Ketika kita tua, kita akan sadar bahwa bagaimanapun juga, hidup kita terus berjalan dan hidup tidak dapat kenyang dengan mimpi. Hidup dibangun di atas realitas”
“Yasudah, take your time, semua ada waktunya.”
“Yeah.. dan gairah itu mungkin hampir habis.” Jawabku dalam hati.
Pernahkah kamu diyakinkan semua orang bahwa kamu bisa, kamu akan, kamu pasti. Tapi jauh di dalam lubuk hatimu, kau tidak tahu apa yang akan kau lakukan. Sedikitpun tak tahu, tapi sepertinya semua orang tahu jauh lebih banyak tentang dirimu daripada kamu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar