Kamis, 24 September 2009

Bintang-Bintang Sintesis

Di langit-langit kamarku ada lampu-lampu. Bulat-bulat digantung berantakan. Ada yang merah, kuning, hijau dan berpendar-pendar dalam remang. Aku jarang menyalakan lampu. Biasanya lampu-lampu ini yang menyala. Tidak seperti bintang memang. Tapi cukup cantik untuk menghiasi mataku kalau aku sedang berkelana jauh di atas bantal hijau kesayanganku. Di saat pikiranku melesat setinggi bintang-bintang sungguhan di langit malam.

Malam ini, sehabis membaca tulisan seorang kawan. Aku memanggut-manggut setuju. Memang pintar kawanku ini, bahasanya jago pula. Bahasa inggris yang dipakai grammarnya sempurna, cukup berkualitas untuk dibaca, tapi juga cukup casual untuk dinikmati. Dan idenya yang ditulis, pada dasarnya bukanlah ide baru untukku. Bahkan aku yang juga sudah lama sepaham dengan itu, belum pernah kepikiran menulis dengan gaya seperti itu, dengan format menarik yang unik begitu.

Dibawahnya, ada sepatah ucapan terimakasih untuk inspirasinya sebuah nama yang tak asing. ‘Terima kasih atas “racunnya”’? Aku pikir aku tahu racun yang dimaksud itu. Tentu nama itu tak asing, sahabatku sendiri. Aku berbagi dengan nama yang sama itu hampir setiap hari, entah jenis gelombang apa saja membawa pesan-pesan kami. Pokoknya saling cerita. Bahkan aku membagi lebih banyak hal tentang pikiran-pikiranku yang meletup-letup dan emosi yang mengalir padanya daripada dengan siapapun sekarang-sekarang ini. Lebih banyak daripada sahabat-sahabatku, bahkan ibuku.

Mungkin karena dia cerdas dan pintar. Padahal aku dan dia terpaut umur cukup sangat amat jauh. Tapi entah kenapa, sebuah pertanyaan juga yang masih selalu menyisa di setiap perenunganku, kenapa ya dia betah mendengarkan celoteh anak kecil macam aku ini dan membagikan banyak hal yang dia pun tahu, tak semuanya dapat kumengerti, jadi beberapa sebenarnya mubazir . Tapi baru akhir-akhir ini saja aku menyadari, betapa berharganya aku bisa dekat bahkan berbagi banyak hal dengan kawan-kawanku itu, mereka pintar... dia pintar... Tentu saja kawanku ini pintar. Mungkin benar kata seorang kawanku yang lain lagi. Suatu malam si Nona ini melemparkan pertanyaan yang aku yakin dia pun spontan, tapi pertanyaan itu cukup menonjokku di ulu hati, “Neng, kamu tuh memilih teman dengan sangat baik dan hati-hati ya?”

“Hah? Kenapa bilang gitu Non? Emang gue keliatan milih-milih temen ya?” sergahku cepat.

“Enggak sih. Tapi kayanya lo tuh memilih teman-teman dan orang yang dekat dengan kehidupan lo secara sempurna. Lo deket dengan orang-orang pintar, orang-orang berpengaruh, orang-orang yang dekat dengan lu harus punya satu dari sekian kriteria outstanding.” Celotehnya tanpa diminta

“Becanda lo... biasa aja kali.. temen gue siapa coba yang ‘outstanding’?”

“Banyak. Lo deket dengan abang-abang gila lo itu. Otak mereka, pengaruh mereka... Lo deket sama si aneh itu yang memang otaknya isinya salmon semua, sahabat-sahabat lo di sekolah orang-orang paling berpengaruh dan berprestasi... Kurang apa lagi coba?” sanggahnya lagi. Membuat aku merenung dalam beberapa baris kata yang sebenarnya sederhana itu.

“Kalau orangnya biasa-biasa aja. Lo cenderung temenan biasa-biasa aja....”
Aku merasa ditonjok, antara disadarkan dan dipojokkan. Aku merasa aku menjadi teman paling menjijikan. Pemilih.

“Gue tuh enggak pernah lo Non, bermaksud milih-milih gitu. Secara kebetulan, orang-orang yang nyambung sama gue emang yang mungkin punya sesuatu yang lebih.” Sahutku lirih.

“Gue tau Neng lo tuh bukan maksud hati milih-milih. Emang itu seleksi alam lo. Mungkin karena lo punya begitu banyak outstanding. Jadi lo yang mau deket sama elo harus bisa nunjukin kalo mereka juga punya paling enggak salah satu dari kelebihan itu untuk bisa sejajar dengan lo...” Sahutnya lagi.

Aku pun menggeleng keras, andai saja dia bisa melihat gerakanku di ujung sana. Bukan sekedar kotak ungu yang perpendar-pendar.

“Enggak Non.. Lo salah. Justru gue tuh enggak punya kelebihan apa-apa. Gue enggak bego, tapi gue juga enggak cemerlang, gue enggak kurang tapi juga enggak berlebih, kecuali kelebihan berat badan pastinya. Justru karena gue so-so aja, makanya gue secara naluriah pergi ke arah orang-orang cemerlang. Kaya magnet gitu lho.. siapa tahu dikelilingin mereka, gue bisa kecipratan dikit pinternya. Itu namanya personal intuition, Non. Mungkin malah itu kelebihan gue satu-satunya... Berada di tengah-tengah para cemerlang....”

Kembali langit-langit kamarku yang warna-warni. Malam ini aku tertegun lagi sehabis membaca berulang kali tulisan seorang kawan tentang wawancara si Paman Google. Aku punya banyak kawan hebat. Punya teman-teman cerdas. Betapa aku irinya menjadi seperti mereka. Tapi aku tak pernah merasa cukup pintar untuk disejajarkan dengan mereka. Aku selalu bilang, memberi toleransi pada diriku sendiri. ‘Nanti, Ngga... nanti kalau sudah sekolah.. kalau sudah jadi mahasiswa betulan... Kalau sudah punya alma mater beneran. Pasti bisa kaya mereka. Bisa mikir, nulis dan menciptakan ide-ide sebrilian mereka, tahu sebanyak mereka. Nanti... ada waktunya.’

Selama ini aku cukup merasa sepakat. Memberi sedikit kesabaran dan pengertian bahwa memang belum waktunya aku seperti mereka, kawan-kawanku yang cemerlang itu. Sosiolog yang bisa nulis tanpa kesalahan grammar, sastrawan cyber yang bisa membuat essay berbobot berlembar-lembar, senjakala yang bisa nyeletuk-nyeletuk menyentil bahkan nyaris tanpa berpikir, aktivis kiri yang bisa menjabarkan dengan sempurna arti kata idealisme, cerpenis yang bisa mengurai plot tanpa berantakan atau sekedar guru TK yang bisa melucu tanpa harus berusaha untuk menjadi lucu. Aku ingin jadi seperti kalian semua. Iri memandangi gemilang-gemilang itu. Iri mungkin... Berusaha meyakinkan diri sebisanya bahwa aku akan bisa (suatu saat) jadi seperti kalian... Lebih baik kalau bisa...

Tapi kadang aku merasa mimpi itu terlalu jauh. Seperti bintang-bintang nyata yang ada di balik 8 lapis beton di atas mataku. Akankah lebih mudah menikmati lampu-lampu, bintang-bintang sintetis yang di terpajang di langit kamar merahku? Lupa akan mimpiku jadi aktivis, melepaskan mimpi jadi penulis dan berhenti berupaya jadi orang pintar dan cerdas. Toh cerdas itu dikasih sama empunya langit.

Kembali menggantung pada sebuah ruang antara mataku dan lampu-lampu, bintang-bintang di kamarku...

Aku ingin jadi orang pintar. Ingin jadi seperti mereka, kawan-kawanku, kakak-kakakku yang secara tak kusadari, mereka masuk ke bawah bantalku. Meracuni aku tentang pandangan-pandangan mereka tetang dunia. Aku melihat bukan dengan mataku, tapi mata mereka. Kadang dan lebih seringnya aku ingin jadi pintar, cerdas seperti mereka. Tapi lebih ingin lagi, aku mau menemukan diriku sendiri, mengerti pandanganku sendiri, menemukan mataku untuk melihat dunia. Tentunya aku bersyukur kepada langit yang entah apa memberikanku kemampuan untuk menjadi kutub magnet berlawanan dengan para gemilang, sehingga aku tak jarang aku bisa dekat. Tapi bukannya untuk maksud eksistensi pribadi atau apa. Aku cuma ingin, suatu hari nanti, menjadi spesies-spesies seperti mereka. Yang bisa berpikir, melihat dan memandang segala sudut-sudut bumi dengan mata mereka sendiri, dengan pikiran merekan sendiri. Dengan mata yang berbinar-binar, penuh seribu bintang kearifan dan kebebasan yang tak lelah-lelahnya berkerlap-kerlip, seperti lampu-lampu di kamarku ini, mengantarku tidur, mengantarku pada bintang-bintang sungguhan, tinggi di langit sana.

0 komentar:

Posting Komentar