“Yang ini aja deh Kak... Yang ini kamu bisa dapet politiknya, dapet hukumnya juga. Mending menurut Ibu sih kamu tuh ambil yang hukum aja. Kayanya keren juga deh kalo kamu ambil hukum, menurut Ibu sih semua ilmu tuh ada hukumnya ya... Atau ini nih.. lebih sosial, antara ini atau itu. Terus digandeng sama ini S2nya, jangan komunikasi duluan deh. Itu belakangan aja. Pokoknya jangan yang Public Management, Ibu enggak suka. Itu enggak ada duitnya lah. Yang bisnis juga jangan deh, bukan kamu banget. Mending yang ini nih. Tengah-tengah kan kamu bisa kerja di corporate, bisa juga kalo kamu tetep mau jadi gembel ngasih makan orang. Terserah...” Peluru-peluru udara dan kata-kata menghujamku berkali-kali di atas meja makan yang penuh sate dan brosur-brosur biru.
“Kayaknya yang ini lumayan deh” Sambil mengangkat brosur kubaca tinggi menutupi wajah.
“Ini yang public management. Ini enggak usah dibaca.” Tiba-tiba brosur yang sedang kubaca melayang dari peganganku, disingkirkan bersama setumpuk brosur yang sudah disortinya. Sepertinya akan berakhir di tong sampah.
“Sudah deh... kamu baca yang ini aja, yang udah di filter. Terserah kamu sih. Ibu cuma milihin.”
Terserah...terserah...terserah... Cuma...Cuma...Cuma...
Seandainya enggak ada kata terserah di bumi ini. Yang ada cuma ini atau itu, mungkin aku enggak akan sebingung ini. Seandainya Ibu memang mau menentukan semuanya, bukan ‘terserah’ tapi memaksa. Seandainya Ibu malah memaksa, dan aku tak punya pilihan. Semuanya akan lebih mudah.
“Pokoknya kamu punya waktu sampai oktober buat mutusin. Kalau kamu mau tetap di Australia, tunjukin kalo kamu keterima di UNSW, kalau enggak mendingan di Belanda aja.”
“Tapi Bu, aku maunya Wolonggong....”
“Enggak bisa. UNSW atau Belanda. Wolonggong tuh enggak bagus.. Udah deh, dengerin aja.”
Dan aku termangu menatap nasi-nasi putih yang tersebar berantakan di piring. Aku maunya dekat laut Bu... Itu saja. Kataku dalam hati.
“Kamu baca nih semuanya, jangan chatting melulu. Ini penting Kak, hati-hati milihnya. Kalau Ibu sih udah tahu mesti yang mana. Tapi yah itu kamu pilih deh.” Katanya lagi sambil menyodorkan kartu pada si pelayan yang membawa nampan bayar.
“Iya” Sahutku lirih.
Seribu orang ingin ada di kursi ini.... aku bisikkan berulang-ulang agar ingat terus.
Aku menghela napas, ‘If everything has been written down... why worry?’ Kataku dalam hati dan tersenyum pada butir-butir nasi, membaca lebih seksama brosur-brosur yang telah Ibuku pilih.
‘Untukmu, Bu... ‘ Sejuta suara di hatiku terpekik sambil tersenyum berusaha mensyukuri.
0 komentar:
Posting Komentar