Malam lain, perang lain. Bising yang menyergap telingaku, sampai mengaduk-ngaduk isi perutku. Tolong, beri aku ruang untuk bernapas, beri aku ruang untuk menikmati kesunyian dan bunyi jariku yang menari-nari cepat, menikmati huruf-huruf kecil, satu-satunya teman sejati yang mendengarkan kisahku.
“Semua ini untuk kamu, Kak!” kata ibuku sambil berdiri di pintu kamar. Dan mulailah dongeng panjang yang akan menguras tenaga dan hatiku.
“Jadi sebaiknya kalau Bapakmu itu enggak mau deposito untuk biaya kuliah kamu. Ya jual aja mobilnya. Pokoknya ibu tuh cuma mau lihat etiket baiknya saja. Bapakmu itu bukannya tidak punya uang, toh dia sendirian, penghasilan sebanyak itu kemana semua duitnya? Nanti malah dipakai oleh simpenannya itu. Anaknya sekolah malah keteteran. Berhenti dulu itu ngetiknya kenapa sih?” Potong Ibu menghentikan jemariku yang masih mengetik cepat ke layar yang memuat barisan-barisan panjang huruf-huruf kecil.
“Tanggung jawabnya dimana sih laki-laki kaya gitu? Ibu aja berani deposito segitu setahun dimuka. Dia juga harus nunjukin dong. Ini semua buat kamu, Kak. Kamu kan butuh perasaan aman kalo pendidikan kamu tuh terjamin sampai selesai. Inget lho, Kak, biaya di luar negri tuh enggak murah. Kalau dia sepakat dibagi dua, ya adil dong! Tunjukin sekarang, jangan cuma ngomong doang...” Lanjut Ibu panjang.
Aku menghela napas, menatap kosong ke arah layar. Menanggapi perkataan ibu dengan satu dua kali anggukan atau gumaman tanpa makna. ‘Iya Bu’ sahutku lemah.
Kalau aku boleh berteriak. Boleh bilang apa saja tanpa menyakiti siapapun. Aku akan teriak ‘Bu! Pergi dari kamarku sekarang juga! Diam dan tinggalkan aku sendiri! Aku bosan bu! Aku lelah... tidak bisakah kalian menyelsaikan masalah itu tanpa perang? Tidak bisakah kalian berhenti saling ego. Aku benci namaku diatas namakan, untuk perang ego kekanak-kanakan semacam ini. Aku bukan saja semakin benci ayah, Bu. Tapi juga benci Ibu. Aku tahu semua ini untuk aku, aku, aku seorang. Tapi pernahkah kalian memahami perasaanku? Kalau aku benci jadi akar masalah. Aku lelah terus begini, diantara perang dan gencatan senjata yang terus menguras hati. Aku hanya ingin buat kalian bangga, itu saja. Aku hanya ingin kita semua dewasa, duduklah dalam satu meja. Bagi aku menjadi dua seperti yang setujui sebelumnya. Tanpa perang, tanpa harus aku selalu yang jadi alasan untuk perang. Bu, kau benar.. aku butuh rasa aman bahwa pendidikanku akan terjamin. Tapi mungkin kau lupa Bu, aku juga butuh rasa nyaman kalau pendidikanku tak menciptakan peperangan”
Adakalanya aku begitu muak sehingga ingin menutup telinga rapat-rapat. Tapi Ibuku yang kusayangi sepenuh hatiku duduk disampingku, tak berhenti menyampaikan keluh kesahnya. Apa yang dapat kulakukan? Menolaknya dengan menyuruhnya diam? Yang ia punya hanya aku seorang... Dan yang kupunyapun hanya dia seorang. Telinga mana lagi yang paling mampu mendengar selain aku untukknya dan ia untukku. Tapi kadang aku butuh ruang untuk bernapas, udara yang segar. Bukan udara yang melulu kotor dengan kebencian. Sudah cukup lah Bu, kau tularkan luka-lukamu itu akan ayah. Aku pun sudah cukup terluka sampai hilang rasa. Luka ini tak akan sembuh, tak perlulah kau siram cuka terus menerus agar lukanya tetap basah.
Kakiku bergoyang-goyang cepat dibawah kursi hitam yang keras ini. Kepalaku pening, pandanganku kosong memandang layar yang menunggu dalam diam. Ibu masih saja bicara, menumpahkan segalanya. Aku ingin muntah, titik dimana aku tak dapat lagi menampung segalanya.
Jariku menyusuri tepi meja yang putih halus. Pikiranku jauh, menangkap pembicaraan dari seberang dunia nyata. Alunan gitar menggiring pikirannku membubung tinggi.
I'll show you mine if you show me yours first,
Let's compare scars I'll tell you whose is worse.
Let's unwrite these pages and replace them with our own words.
Swing Life Away – Rise Agaisnt
Andai aku bisa ‘swing life away’, menekan segalanya keluar dan bernapas lega tanpa diburu apapun. Aku akan bilang pada mentari paling panas ‘Tunggu aku Mentari, kukejar kau sampai dapat!’
0 komentar:
Posting Komentar