“Ayolaaah, biarkan aku menyelsaikan masa remajaku yang tinggal sebentar lagi ini dengan normal...” kataku frustasi kepadanya di sebuah pagi yang panjang. Dua ronde perbincangan tentang hal-hal besar yang menghabiskan dua cangkir kopi dan beberapa batang rokok. Mengantar pagi dari mengulet, sekarang sudah benar-benar bangun.
“Itu sebabnya hanya kamu yang masih bisa ku-optimiskan” Katanya sambil tertawa ringan dan menghebuskan kepulan asap putih rokok ramping perempuan.
“Oh godamn, I dont wanna this anymore. Semua itu hanya siklus, semua itu sudah mati sayang. Enggak ada yang namanya kesuksesan karena idealisme. Yang ada hanya siklus kesuksesan dari mereka-mereka yang beruntung. Lihat kemerdekaan, sumpah pemuda, apalah...” Ujar lidahku menyesal, kalimatku ini akan membawa kami ke diskusi yang semakin panjang dan melelahkan.
“Ayolah... dibutuhkan orang-orang macam kamu untuk bisa mengubah dunia.” Katanya lembut.
Hahahaha.. tawaku hambar. What a cliche.
“Apa rasanya jadi impoten?” tanyaku
“Ha? Impoten? Aku belum impoten kali” sahutnya.
“Apa rasanya tahu banyak hal yang salah, tahu bagaimana cara membetulkannya, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Terkekang oleh perut dan realitas.Kupikir, banyak orang-orang yang seperti itu, apa lagi di generasimu.” Menerawang aku memperhatikan asap-asap di atas kepala yang membaur dengan udara.
Selasa, 23 Februari 2010
Kau Selalu Dengar Ya Ternyata?

“Have you check your GPA?” sebuah pesang singkat masuk dari kawan sekelasku.
Hah? GPA keluar hari ini? Kupikir masih minggu depan, tiba-tiba aku dilanda kepanikan.
“Nope, have you?” balasku cepat, aku sedang di angkutan umum, memegang computer genggam seharga satu motor bukan hal yang baik untuk dipamer.
“Okey, check then. Call Ms. Lita, she’ll help you” Teman sekelasku yang baik itu memberikan nomor telepon untuk menanyakan daftar nilai akhir itu.
Label:
kontemplasi