Rabu, 14 April 2010

Jangan Lupakan Aku Ya, Jendral?

Aku takut. Bagaimana tidak? Ketika aku kembali, bumi di tanah ini sudah berevolusi entah beberapa kali. Tidak akan ada yang sama. Tidak akan ada yang tinggal. Semuanya berubah, terseret waktu. Aku pun akan berubah, tak akan pernah pulang dengan menjadi aku yang sama seperti kupergi. Aku akan tetap menemukan seorang jedral memberi hormat tanpa lelah, tapi aku tak yakin setiap orang di kota ini akan sama. Menantiku pulang setelah perjalanan panjangku.

Orang-orang yang sekarang kukenal mungkin sudah berpergian ke tempat mereka akan berlabuh. Sahabat-sahabatku mungkin sudah menemukan sahabat baru, memberi tempat di hati mereka bagi orang-orang baru di kehidupan mereka yang berlanjut. Begitu juga aku. Ada hubungan-hubungan yang tak dapat dihapus oleh darah. Namun ada beberapa cara berbagi yang mungkin akan beradaptasi dengan jarak.

Ketika aku memutuskan untuk terbang. Aku harus tahu dan ikhlas bahwa sebuah kehidupan berjalan tanpa aku. Membiarkan seseorang mengambil tempat dimana kau seharusnya berada. Menduduki kursi yang biasanya kau duduki dan mengisi ruang di hati-hati orang yang tinggal. Sepertinya itu tidak mudah. Tapi itu pilihan. Dan kurasa, pelajaran sulit yang hanya bisa dituntaskan oleh manusia dewasa, adalah mengambil sebuah keputusan dan menyelsaikannya, sebagaimanapun beratnya itu.

Ketika aku memutuskan pergi. Memulai sebuah buku baru, berarti aku mengundang entah berapa ratus tokoh baru didalamnya. Tapi ketika buku itu harus habis juga, akankah aku kehilangan mereka? Dan lalu pulang ke kota berjedral ini. Melewati jalan-jalan yang sudah ramah di mataku. Memulai segalanya lagi, ketika kota ini sudah jauh berotasi. Meninggalkan aku yang pulang dan sudah berbeda pula.

Kadang aku berpikir untuk berhenti berotasi. Tidak bisakah kita tinggal? Diam dan tak berubah? Mungkin benar yang mereka bilang. Satu-satunya di kolong langit ini yang tidak berubah adalah matahari. Matahari yang selalu terbit di pagi hari dan padam di senjanya. Tapi sebenarnya, karena mataharilah kita berubah setiap waktu. Matahari mengubah kita. Mengubah semua yang kita tinggalkan.

Kadang semua hal tentang perubahan itu membuatku takut. Pengecut untuk maju, meninggalkan dan maju. Juga takut kalau nanti aku ditinggalkan dan akhirnya tak seorang pun tersisa kecuali aku dan mentari.

Lebih takut lagi, kalau nanti aku merindukan diriku yang sekarang dan aku tak bisa menemukannya. Mau kutanya pada siapa lagi kalau diriku saja tak kutemukan, kalau ia berubah dan tak dapat dikenali. Menurutmu, akankah si Jendral Menghormat masih akan mengenaliku?